Jumat, 14 November 2008

SISTEM PERADILAN PIDANA

Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) pada dasarnya sebagai bagian dari upaya negara untuk melindungi warga masyarakat dari bentuk-bentuk perilaku sosial yang ditetapkan secara hukum sebagai suatu kejahatan. Di samping itu, sistem tersebut juga dibentuk sebagai sarana untuk melembagakan pengendalian sosial oleh negara. Sistem tersebut dianggap berhasil apabila sebagian laporan maupun keluhan warga masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat diselesaikan, dengan diajukannya pelaku ke sidang pengadilan dan dikenakan pidana. Artinya, efektivitas sistem peradilan pidana tidak terlepas dari peran dan fungsi institusional serta keterkaitan dari masing-masing subsistem Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Pemasyarakatan. Kerterkaitan antara subsistem satu dengan yang lainnya seperti “bejana berhubungan”. Setiap masalah dalam salah satu subsistem - misalnya Penyidikan - akan menimbulkan dampak pada subsistem lainnya dan demikian seterusnya. Pada akhirnya tidak akan jelas mana merupakan sebab (awal) dan mana yang akibat (reaksi). Gejala yang terlihat sekarang adalah kekurang-percayaan masyarakat terhadap hukum dan pengadilan. Apa yang merupakan sebab dan mana yang akibat sukar ditelusuri kembali.
Harkristuti Harkrisnowo berpendapat bahwa Sistem Peradilan di Indonesia secara umum masih mengalami berbagai hambatan terutama disebabkan karena Sistem Peradilan Indonesia masih dipandang kurang independen dan imparsial. Selengkapnya Harkristuti Harkrisnowo berpendapat, sejumlah masalah yang layak dicatat terjadi berkenaan dengan bidang hukum antara lain termasuk :
1. Belum memadainya perangkat hukum yang mencerminkan keadilan sosial (walau Indonesia mungkin satu-satunya negara di dunia yang mengikrarkan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat” dalam asas Negara) ;
2. Inkonsistensi dalam penegakan hukum yang tercermin dalam pelaksanaan proses penegakan hukum, dimana perubahan substantif menjadi tidak berarti karena terjadinya stagnasi penegakannya akibat dari belum diimbanginya dengan perubahan sikap dan perilaku penegak hukum ;
3. Masih adanya intervensi terhadap hukum ;
4. Rendahnya kontrol secara komprehensif terhadap penegakan hukum ;
5. Belum meratanya tingkat keprofesionalan para penegak hukum dan juga para penyelenggara kekuasaan negara pada umumnya ;
Ke semua fenomena di atas merupakan sebagian dari faktor yang telah memudarkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan semua atributnya, serta juga mereduksi kepastian hukum sebagai suatu pilar yang melandasi tegaknya hukum dalam sistem Peradilan Indonesia. Pada dasarnya, suatu hukum yang baik adalah hukum yang mampu menampung dan membagi keadilan pada orang-orang yang akan diaturnya.
Seperti diketahui bahwa aturan hukum yang menjadi dasar bagi pelaksanaan hukum acara pidana dalam lingkungan peradilan umum telah diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang lebih dikenal dengan sebutan KUHAP. Dalam KUHAP ditegaskan tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, yaitu suatu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan-ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.
Jika diperhatikan tujuan hukum acara pidana tersebut, nampak jelas bahwa peranan antara Penyidik Polri dan Jaksa Penuntut Umum sangat penting. Koordinasi fungsi antara Penyidik dengan Jaksa Penuntut Umum dimulai sejak disampaikannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) oleh Penyidik kepada Penuntut Umum sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (1) UU No. 8 tahun 1981). Keterkaitan antara Penyidik dan Jaksa Penuntut Umum tersebut, bukan saja dititik beratkan untuk menjernihkan tugas wewenang dan efesiensi kerja, akan tetapi diarahkan untuk terbinanya aparat penegak hukum yang dibebani tugas tanggungjawab saling koordinasi atau dalam KUHAP lebih dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System) .
Dalam KUHAP ditegaskan bahwa pelaksanaan fungsi Penyidik dan Jaksa Penuntut Umum sejak dari tahap penyidikan, penuntutan dan eksekusi. Penetapan adanya ketertarikan atau titik singgung dari fungsi-fungsi tersebut antara lain: Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), Perpanjangan Penahanan, Izin Penyitaan, Penelitian Berkas Perkara Tahap I, Pengembalian Berkas Perkara yang disertai petunjuk oleh Jaksa Penuntut Umum kepada Penyidik, Penangguhan Penahanan tersangka Penyerahan Tersangka dan Barang Bukti kepada Jaksa Penuntut Umum sampai dengan Pemeriksaan Tambahan yang lakukan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Dengan adanya titik singgung seperti yang dikemukakan di muka, diperlukan adanya keserasian hubungan kerja dan koordinasi antara aparat penegak hukum, yang dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System).
Koordinasi fungsional diterapkan antara Penyidik dengan Jaksa Penuntut Umum dalam pemeriksaan perkara pidana, bertujuan memudahkan penyelesaian perkara. Namun dalam prakteknya, seringkali ditemukan “benturan penafsiran” tentang ketentuan di dalam KUHAP, dan tentunya sangat merugikan para pencari keadilan. Dari sejumlah masalah yang sudah menjadi wacana dan dalam praktek pra-penuntutan dan berdasarkan hasil pengamatan penulis, terdapat berbagai anggapan sebagai berikut :
1. Dari rangkaian tugas penegakan hukum dapat diketahui bahwa tugas Kepolisian bukan merupakan tugas yang ringan. Dengan segala keterbatasan, ketrampilan dalam melakukan penyidikan masih tetap harus ditingkatkan guna “mengejar” modus kejahatan yang semakin kompleks. Sering terjadi keluhan dalam masyarakat, bahwa tugas yang dilakukan oleh Kepolisian dalam rangka penegakan hukum, acapkali melanggar aturan-aturan yang telah ditentukan. Aparat Kepolisian dianggap tidak menghormati hak-hak yang dimiliki tersangka serta sering melakukan kekerasan dalam memeriksa tersangka. Kekuasaan yang dimiliki oleh Penyidik, masih menjadi faktor penentu dalam melakukan penegakan hukum, sehingga terdapat kecenderungan ketidakpercayaan pada lembaga Kepolisian. Hal ini tentunya sangat merugikan pihak Kepolisian serta proses peradilan pidana secara keseluruhan.
2. Masih kurangnya kesungguhan aparat penegak hukum yang terkait dengan profesionalitas, integritas kepribadian, disiplin yang tinggi, serta kurangnya fasilitas sarana dan prasarana yang dibutuhkan, sehingga relatif banyak kasus kejahatan yang tidak terjangkau oleh proses peradilan pidana, dan bahkan penyelesaian perkara pun relatif lambat.
3. Masih terdapat kesan tumpang tindih kewenangan antara Kepolisian dan Kejaksaan dalam mengemban fungsi penyidikan, yang menjadi salah satu sebab terhambatnya penyelesaian proses peradilan pidana.
4. Belum maksimalnya koordinasi dan konsolidasi fungsional maupun instansional yang disebabkan oleh penafsiran yang masih dilandasi solidaritas korps.

2 komentar:

wahyudin mengatakan...

susunan makalah anda lumayan bagus, cuman bukan kah lebih baik untuk terus memperbaiki kesalahan.

wahyudin mengatakan...

salam kenal ya. maju terus pantan menyerah, ni no aku 085658578222