Minggu, 16 November 2008

PROCESS OF CRIMINALIZING BEHAVIOR

Frank Remington adalah orang pertama di Amerika Serikat yang memperkenalkan rekayasa administrasi peradilan pidana melalui pendekatan sistem (system approach) dan gagasan mengenai sistem ini terdapat dalam laporan Pilot Proyek tahun 1958. Gagasan ini kemudian dilekatkan pada mekanisme administrasi peradilan pidana, dan diberi nama “Criminal Justice System”.
Melalui pendekatan sistem ini di Amerika Serikat dan di beberapa negara Eropa menjadi model yang dominan dengan menitikberatkan pada “the administration of justice” serta memberikan perhatian yang sama terhadap semua komponen dalam penegakan hukum.
Istilah “Criminal Justice System” atau sistem peradilan pidana (SPP) menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar “pendekatan sistem”.
Remington dan Ohlin mengemukakan : “Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem, peradilan pidana merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktek administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya”.
Hyman Gross memberikan gambaran mengenai sistem peradilan pidana, berdasarkan kenyataan yang ada di masyarakat. Hyman Gross melihat sistem peradilan pidana itu antara lain sebagai :
1. Criminal Justice as Social Criticism;
In any modern society criminal justice has three stages. In the first there is an accusation that is critical of some act by a person who is said to have there by broken the law. But the accusation it self must then be critically tested in order to determine guilt or innocence, and this takes places in the second stage. If the accusation survives the test and proves to be sound, there is a third stage to allow for condemnation of was done through punishment of the accused for what he did. Since all three stages are occupied with critical activities that are governed by social rules of the highest authority-the law it seems to speak of criminal justice as social criticism. (Dalam masyarakat modern peradilan pidana mempunyai tiga petunjuk. Pertama, suatu penuntutan merupakan kritik terhadap perbuatan yang melanggar hukum yang dilakukan oleh seseorang. Kedua, tuntutan itu sendiri harus diuji secara kritis dalam menentukan kesalahan. Ketiga, tuntutan harus berdasarkan pengujian dan pembuktian agar dimungkinkan menjatuhkan pidana bagi seseorang. Jika ketiga petunjuk ini dilakukan secara kritis oleh pemerintah sebagai pemegang kekuasaan hukum yang tertinggi, maka hal itu cocok untuk membicarakan peradilan pidana sebagai kritik sosial.)

2. Criminal Justice as Moral Criticism;
Crime is morraly wrong, and punishment for it is morally right.
(kejahatan itu secara moral salah, dan pidana itu secara moral dapat dibenarkan)

Selain itu, Hagan, membedakan pengertian antara “Criminal Justice Process” dan “Criminal Justice System”. Criminal Justice Process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka kedalam proses yang membawanya pada penentuan pidana. Sedangkan Criminal Justice System adalah interkoneksi antar keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.
Menurut Mardjono Reksodipoetro, sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan terpidana. Tujuannya sebagai berikut :
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakan dan yang bersalah dipidana.
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
Selanjutnya Muladi mengemukakan bahwa, Sistem Peradilan Pidana merupakan jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiel, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Akan tetapi menurut Muladi, kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial. Sifat yang terlalu formal jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan.
Lebih jauh Muladi mengemukakan bahwa makna Integrated Criminal Justice System adalah sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan, yang dapat dibedakan dalam :
2. Sinkronisasi Struktural (structural synchronization); adalah keserempakan dan keselarasan dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum.
3. Sinkronisasi Substansial (substantial synchronization); adalah keserempakan dan keselarasan yang bersifat vertical dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif.
4. Sinkronisasi Kultural (cultural synchronization); adalah keserempakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.
Berbagai pandangan mengenai sistem peradilan pidana di atas memiliki dimensi yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Sistem peradilan pidana merupakan konstruksi (sosial) yang menunjukan proses interaksi manusia (di dalamnya ada aparatur hukum, advokat dan terdakwa, serta masyarakat) yang saling berkaitan dalam membangun dunia (realitas) yang mereka ciptakan . Pemeriksaan perkara pidana mulai di tingkat Kepolisian, Kejaksaan sampai dengan Pengadilan adalah merupakan representasi dari proses yang melibatkan komunikasi dalam pembentukan realitas, sementara aturan normatif merupakan refleksi dari proses interaksi yang demikian itu.
Pandangan demikian telah mempengaruhi objek atau pusat perhatian para kriminolog. Masalah sentral yang menjadi pusat perhatian bukan lagi pada sebab-sebab mengapa seseorang melakukan kejahatan sedangkan yang lain tidak, tetapi mengapa perbuatan seseorang ditetapkan sebagai suatu kejahatan sedangkan yang lain tidak. Hal ini sejalan dengan pendapat Austin Turk yang mengemukakan bahwa pusat perhatian kriminologi bukan lagi pada “the criminal character of behavior”, tetapi pada “process of criminalizing behavior”. Sedangkan menurut Clayton. A. Hartjen, ada pergeseran pusat perhatian dari si pelaku kejahatan ke sistem peradilan pidana dan pada keterkaitan antara persepsi mengenai kejahatan, penyelenggaraan hukum pidana dan masyarakat pada umumnya.
Dengan demikian maka sistem peradilan pidana yang merupakan perhatian kita dapat digambarkan sebagai berikut :






Gambar 2.
Lapisan dalam Sistem Peradilan Pidana









Gambar 3.
Proses Peradilan Pidana








Dari skema di atas terlihat bahwa proses peradilan pidana itu adalah suatu sistem, dengan Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan, serta Pemasyarakatan sebagai sub-sub sistem. Pelanggar hukum berasal dari masyarakat dan akan kembali pula ke masyarakat, baik sebagai warga yang taat pada hukum (non-residivis), maupun mereka yang kemudian akan mengulangi kembali perbuatannya (residivis).
Dengan demikian untuk mencapai tujuan Hukum Acara Pidana maka koordinasi yang erat antara sub-sub sistem dalam satu sistem peradilan pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan) adalah suatu keharusan sehingga dapat membentuk suatu Integrated Criminal Justice System. Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, maka diperkirakan terdapat tiga kerugian besar yaitu :
1. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama.
2. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok di setiap instansi (sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana)
3. Dikarenakan tanggung jawab setiap instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana.
Sebagaimana diuraikan di muka bahwa dalam Sistem Peradilan Pidana yang lazim, selalu melibatkan dan mencakup sub sistem dengan ruang lingkup masing-masing proses sebagai berikut :
a. Kepolisian, dengan tugas utama : menerima laporan dan pengaduan dari public manakala terjadi tindak pidana ; melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana ; melakukan penyaringan terhadap kasus-kasus yang memenuhi syarat untuk diajukan ke kejaksaan ; melaporkan hasil penyidikan kepada kejaksaan dan memastikan dilindunginya para pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana.
b. Kejaksaan dengan tugas pokok : menyaring kasus-kasus yang layak diajukan ke pengadilan ; mempersiapkan berkas penuntutan ; melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan pengadilan.
c. Pengadilan yang berkewajiban untuk : menegakan hukum dan keadilan ; melindungi hak-hak terdakwa, saksi dan korban dalam proses peradilan pidana ; melakukan pemeriksaan kasus-kasus secara efisien dan efektif ; memberikan putusan yang adil dan berdasar hukum ; dan menyiapkan arena publik untuk persidangan sehingga publik dapat berpartisipasi dan melakukan penilaian terhadap proses peradilan di tingkat ini.
d. Lembaga Pemasyarakatan, yang berfungsi untuk : menjalankan putusan pengadilan yang merupakan pemenjaraan ; memastikan terlindunginya hak-hak narapidana ; menjaga agar kondisi LAPAS memadai untuk menjalankan pidana setiap narapidana ; melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki narapidana ; mempersiapkan narapidana untuk kembali kemasyarakat.
e. Penasehat Hukum/Advokat, dengan fungsi : melakukan pembelaan bagi klien ; dan menjaga agar hak-hak klien dipenuhi dalam proses peradilan pidana.

Di Indonesia yang mendasari bekerjanya sub-sub sistem di atas mengacu kepada UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Akan tetapi belum ada upaya yang sistematis dan signifikan dalam rangka untuk mengatasi kekosongan dan kekurangan hukum pidana formil yang hanya mengacu kepada KUHAP. Payung hukum untuk mengisi kekosongan tersebut adalah apa yang disebut dengan kebijakan pidana atau politik kriminal (criminal policy). Mardjono Reksodipoetro, menjelaskan bahwa politik kriminal merupakan usaha masyarakat yang rasional dalam menanggulangi kejahatan, pada umumnya dirumuskan melalui perangkat perundang-undangan yang berkenaan dengan masing-masing lembaga yang terlibat dalam upaya penegakan hukum dalam proses peradilan pidana. Tujuan yang hendak dicapai adalah mengurangi keinginan melakukan pelanggaran aturan pidana, serta sekaligus memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Ketentuan mengenai proses beracara dalam sistem peradilan pidana di Indonesia mengacu kepada ketentuan umumnya yakni KUHAP, disamping juga terdapat ketentuan hukum pidana formil selain telah diatur dalam KUHAP tersebut, yang tersebar dalam undang-undang di luar KUHP yang banyak menimbulkan persoalan. Akan tetapi kalau dicermati muara persoalan tersebut mengarah kepada tiga hal, yakni : a) tidak adanya sanksi apabila prosedur yang ditetapkan tersebut di langgar, termasuk pelanggaran terhadap hak-hak yang telah dirumuskan ; b) kurang efektif dan efisien dalam penyelenggaraan peradilan pidana, karena terdapat tahapan proses yang tidak diperlakukan dan mubazir serta berbelit-belit dan sia-sia ; c) formulasi pasal-pasal sangat memungkinkan adanya interpretasi yang berbeda-beda, yang kemudian dilaksanakan oleh penegak hukum.
Berbagai lembaga yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan memberikan gambaran bahwa masalah hukum proses pemeriksaan perkara pidana, mempunyai banyak alternatif pola penanganan dalam proses penegakannya, akan tetapi dengan variasi pihak yang diberi kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan tersebut juga akan mempunyai potensi untuk terjadinya variasi kebijakan dan interpretasi terhadap implementasi peraturan perundang-undangan sebagaimana yang menjadi landasan berpijak bagi bekerjanya aparatur penegak hukum.
Kenyataan inilah seringkali menjadi salah satu faktor kriminogen terhadap timbulnya permasalahan hukum proses beracara pidana yang disamping secara inherent muncul dari kelemahan mendasar produk perundang-undangan yang membingkai norma proses beracara pidana tersebut, tetapi juga menjadi sebab dari penyimpangan-penyimpangan hukum prosedural yang lahir dari “kebijakan” dan diskresi” yang dikeluarkan oleh aparat penegak hukumnya. Persoalan tersebut dapat menimbulkan kerumitan koordinasi antara instansi yang menjadi subsistem dalam “Integrated Criminal Justice System”, karena semangat “superioritas” dan merasa mempunyai kewenangan antar mereka, sehingga sikap dan sifat karakter introvert dan eksklusivitas dari masing-masing instansi yang mempunyai kewenangan menjadi kendala tidak saja struktural tetapi akhirnya menjadi kendala dan sebab kultural dari aparat penegak hukum.
Dalam perkembangannya, perhatian yang dipusatkan pada sistem peradilan pidana ini nampaknya cukup serius. Sistem peradilan pidana tidak sekedar dilihat sebagai sistem penanggulangan kejahatan, tetapi justru dilihat sebagai “social problem” yang sama dengan kejahatan itu sendiri. Dikatakan demikian karena di samping kenyataan menunjukan bahwa kejahatan tetap terus meningkat, yang dapat dilihat sebagai indikator tidak efektifnya sistem peradilan pidana, juga karena sistem peradilan pidana itu sendiri dalam hal-hal tertentu dapat dilihat sebagai faktor kriminogen dan victimogen sebagai sumber tidak langsung timbulnya tindak pidana dan timbulnya korban tindak pidana. Memang dapat dilihat bahwa kerjasama sistem peradilan pidana yang terdiri dari sub-sub sistem Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan serta masyarakat itu sendiri merupakan rangkaian proses peradilan pidana yang harus dikordinasikan secara baik. Jika tidak, maka kemudian justru sistem peradilan pidana itu sendiri yang merupakan salah satu faktor timbulnya tindak pidana dan timbulnya korban tindak pidana.

Tidak ada komentar: