Jumat, 14 November 2008

DEFERENSIAL FUNGSIONAL

Penal Policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.
Selanjutnya, dinyatakan pula :
Between the study of criminological factor on the one hand, and the legal technique on the other, there is room for a science which observes legislative phenomenon and for a rational art within which scholar and practitioners, criminologist and lawyers can come together, not as antagonists or in fratricidal strife, but as fellow-workers engaged in a common task, which is first and foremost to bring into effect a realistic, humane, and healthily progressive penal policy
(Di antara studi mengenai faktor-faktor kriminologis di satu pihak dan studi mengenai tehnik perundang-undangan di lain pihak, ada tempat bagi suatu ilmu pengetahuan yang mengamati dan menyelidiki fenomena legislative dan bagi suatu seni yang rasional, di mana para sarjana dan praktisi, para ahli kriminologi dan sarjana hukum dapat bekerja sama tidak sebagai pihak yang saling berlawanan atau saling berselisih, tetapi sebagai kawan sekerja yang terikat di dalam tugas bersama, yaitu terutama untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistic, humanis dan berpikiran maju (progresif) lagi sehat)

Bertitik tolak dari pandangan di atas, pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan yang bersifat tehnis perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normative dan sistematik-dogmatik, akan tetapi juga memerlukan pendekatan yuridis factual, yang dapat berupa pendekatan secara sosiologis, historis dan komparatif serta pendekatan komperhensif dari berbagai disiplin sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.
Berbagai bentuk reaksi atau respons sosial dapat dilakukan untuk menanggulangi kejahatan, antara lain dengan menggunakan hukum pidana. Dengan demikian menurut Muladi, penegakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan. Tujuan akhir dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama yaitu kesejahteraan masyarakat.

Penanggulangan kejahatan melalui sarana penal lazimnya secara operasional dilakukan melalui langkah-langkah : Perumusan norma-norma yang di dalamnya terkandung adanya unsur substansif, struktural dan kultural masyarakat dimana sistem hukum pidana itu diberlakukan. Sistem hukum pidana yang berhasil dirumuskan itu selanjutnya secara operasional bekerja lewat suatu sistem yang disebut Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sistem). Sistem Peradilan Pidana (terpadu) bisa berdimensi internal, namun bisa juga berdimensi eksternal. Berdimensi internal apabila perhatian ditujukan kepada keterpaduan subsistem peradilan, seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan. Sedangkan dimensi eksternal lebih karena kaitannya yang hampir tidak bisa dipisahkan dari sistem sosial yang lebih luas.

Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) harus dilihat sebagai The network of courts and tribunals which deal with criminal law and his enforcement. Pemahaman pengertian sistem dalam hal ini harus dilihat dalam konteks baik sebagai Phsycal System dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai Abstract System dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain berada dalam ketergantungan.

Selanjutnya menurut Muladi, Sistem Peradilan Pidana harus dilihat sebagai open system, sebab pengaruh lingkungan seringkali berpengaruh terhadap keberhasilan sistem tersebut mencapai tujuannya. Sebagai contoh, Muladi mengemukakan keberhasilan sistem peradilan baik di negeri Belanda maupun di Jepang dalam rangka masukan crime rate disebabkan karena partisipasi masyarakat dalam sistem peradilan pidana yang sudah melembaga.
Dari kacamata pendekatan sistem ini akan selalu tampak kaitan, bahkan interface antara politik perundang-undangan dengan administrasi peradilan pidana beserta filosofi yang mendasarinya.

Berbicara masalah penegakan hukum sebenarnya tidak terlepas dari pemikiran-pemikiran tentang efektifitas hukum. Menurut Soerjono Soekanto, bahwa masalah efektifitas hukum berhubungan erat dengan usaha yang dilakukan agar hukum itu benar-benar hidup dalam masyarakat, dalam artian berlaku secara filosofis, yuridis dan sosiologis. Berlaku secara filosofis, berarti bahwa hukum itu berlaku sebagaimana yang dikehendaki atau dicita-citakan oleh adanya hukum tersebut. Berlaku secara yuridis, berarti sesuai dengan apa yang telah dirumuskan, dan berlaku secara sosiologis berarti hukum itu dipatuhi oleh warga masyarakat tersebut. Pandangan Soekanto tersebut memang menjadi tepat dan baik jika saja, secara filosofis, substansi hukumnya mencerminkan kehendak rakyat dan nilai-nilai keadilan yang berkembang di masyarakat (volonte generale) dan bukan merupakan pencerminan kehendak penguasa yang membuat hukum/yang absolute dan korup. Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian “law enforcement” begitu populer.

Pandangan yang berbeda mengenai efektifitas hukum adalah pandangan dari Selo Soemarjan. Menurutnya, efektifitas hukum berkaitan erat dengan faktor-faktor sebagai berikut :
1. Usaha-usaha menanamkan hukum di dalam masyarakat, yaitu pembinaan tenaga manusia, alat-alat, organisasi dan metode agar warga-warga masyarakat mengetahui, menghargai, mengakui dan mentaati hukum.
2. Reaksi masyarakat yang didasarkan pada sistem nilai-nilai yang berlaku. Artinya masyarakat mungkin menolak atau menentang atau mungkin mematuhi hukum untuk menjamin kepentingan mereka.
3. Jangka waktu menanamkan hukum, yaitu panjang pendeknya jangka waktu di mana usaha-usaha menanamkan hukum itu dilakukan dan diharapkan memberikan hasil.

Pandangan Selo Soemarjan tersebut memang lebih realistis, karena berangkat dari perspektif sosiologis yang digali dari segala sisi dan aspek kehidupan dengan menggambarkan secara komprehensif pilar-pilar sistem yang merajut bangunan sistem sosial secara utuh. Hukum sebenarnya tidak dapat dilepaskan dalam konteks tersebut, baik pada awal pembentukannya, pengesahannya sampai dengan penegakkannya.

Sedangkan menurut Diaz, ada lima syarat bagi efektif tidaknya suatu sistem hukum :
1. Mudah tidaknya makna atau isi aturan-aturan hukum itu ditangkap.
2. Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi aturan-aturan yang bersangkutan.
3. Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum yang dicapai dengan bantuan :
  • Aparat administrasi yang menyadari kewajibannya untuk melibatkan dirinya ke dalam usaha mobilisasi yang demikian ;
  • Para warga masyarakat yang merasa terlibat dan merasa harus berpartisipasi di dalam proses mobilisasi hukum.
4. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya harus mudah dihubungi dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat, akan tetapi juga harus cukup efektif menyelesaikan sengketa.
5. Adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan warga masyarakat, bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata hukum itu memang sesungguhnya berdaya mampu efektif.

Lebih tegas lagi adalah pandangan Friedman yang menyatakan, bahwa untuk memahami efektif tidaknya berlakunya hukum dalam masyarakat, haruslah diperhatikan komponen-komponen sistem hukum sebagai berikut :
1. Komponen Struktural, yaitu bagian yang bergerak di dalam mekanisme. Misalnya pembagian kompetensi pada lembaga peradilan, yang strukturnya membedakan antara pengadilan umum, pengadilan agama, pengadilan militer dan pengadilan administrasi. Komponen struktural ini diharapkan untuk melihat bagaimana hukum itu memberikan pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur.
2. Komponen Substansi, yang termasuk dalam komponen ini adalah ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan hukum, yang tertulis dan tidak tertulis. Setiap keputusan adalah produk substansi dari sistem hukum.
3. Komponen kultur, yang terdiri dari nilai-nilai, sikap-sikap yang melekat dalam budaya bangsa. Nilai-nilai itulah yang dapat dipakai untuk menjelaskan apakah atau mengapa orang-orang menggunakan atau tidak menggunakan proses-proses hukum untuk menyelesaikan sengketanya.

Selanjutnya menurut Muladi, Penegakan hukum tidak bisa lain harus diartikan dalam kerangka tiga konsep yang saling berhubungan, yakni :
1. konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept), yang menuntut agar semua nilai yang ada di belakang norma hukum tersebut ditegakkan tanpa kecuali;
2. konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full enforcement concept), yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan sebagainya demi perlindungan kepentingan individual, dan
3. konsep penegakan hukum yang bersifat aktual (actual enforcement concept), yang muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana-prasarana, kualitas sumber daya manusia, kualitas perundang-undangannya, dan miskinnya partisipasi masyarakat.

Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) pada dasarnya terbentuk sebagai bagian dari upaya negara untuk melindungi warga masyarakat dari bentuk - bentuk perilaku sosial yang ditetapkan secara hukum sebagai suatu kejahatan. Di samping itu, sistem tersebut juga dibentuk sebagai sarana untuk melembagakan pengendalian sosial oleh negara.

Upaya memberikan perlindungan terhadap warga masyarakat melalui Sistem Peradilan Pidana merupakan rangkaian dari kegiatan instansional Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Yang semuanya bertolak dari acuan yang sama, yaitu perangkat kebijakan kriminal (criminal policy) . Termasuk di dalamnya adalah hukum pidana, hukum acara pidana, dan undang-undang yang mengatur kekuasaan masing-masing subsistem peradilan pidana (UU Kepolisian, UU Kejaksaan, UU Kehakiman, UU Lembaga Pemasyarakatan).

Hukum Acara Pidana di Indonesia diatur dalam Kitab Undang undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 8 Tahun 1981 yang diundangkan dalam Lembar Negara (LN) No. 76/1981 dan penjelasan dalam Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia (TLNRI) No. 3209. Dengan diundangkannya Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana Nasional tersebut, maka bangsa Indonesia telah selangkah lebih maju dalam usaha mengadakan pembaharuan hukum, yaitu dari hukum kolonial menjadi hukum nasional. Undang-undang yang lebih dikenal dengan KUHAP ini menjelaskan suatu perombakan total dari Hukum Acara Pidana Kolonial yaitu HIR (Herzienne Indische Reglement). KUHAP memuat perubahan yang sangat mendasar dalam aturan secara pidana dan secara konseptual obyektivitas/keterbukaan, keprofesionalan aparat penegak hukum dalam melindungi hak asasi manusia.
Hukum Acara Pidana dibentuk sebagai pedoman bagi aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum. Dalam Konsiderans KUHAP, memuat tentang alasan-alasan dibentuknya KUHAP, antara lain :
1. Agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya;
2. Untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing;
3. Tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia;
4. Ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan amanat UUD 1945.

Untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum sebagaimana disebutkan di atas, dibutuhkan suatu organisasi yang cukup kompleks. Tanpa adanya organisasi tersebut hukum tidak bisa dijalankan dalam masyarakat. Organisasi tersebut adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan serta badan perundang-undangan. Melalui organisasi serta proses-proses yang berlangsung di dalamnya, masyarakat memperoleh perwujudan dari tujuan-tujuan hukum. Keadilan misalnya, kini tidak lagi diberikan kepada anggota masyarakat dalam bentuk konsep yang abstrak, melainkan benar-benar pensahan sesuatu. Kepastian hukum menjadi terwujud melalui keputusan-keputusan Hakim. Ketertiban dan keamananan menjadi sesuatu yang nyata melalui tindakan-tindakan Polisi yang diorganisir oleh Kepolisian.
Dalam kerangka demikian, secara internal dan eksternal sistem peradilan harus berorientasi pada tujuan yang sama (purposive behavior). Pendekatannya harus bersifat menyeluruh dan jauh dari sifat fragmentaris, selalu berinteraksi dengan sistem yang lebih besar, operasionalisasi bagian-bagiannya akan menciptakan nilai tertentu (value transformation), keterkaitan dan ketergantungan antar subsistem, dan adanya mekanisme kontrol dalam rangka pengendalian secara terpadu. Berarti terdapat juga kesamaan pendapat atau persepsi terhadap tujuan hukum acara pidana, sehingga masing-masing lembaga yang terkait dalam proses peradilan pidana tidak hanya melihat kepentingannya, tetapi melihat keseluruhan kepentingan dari proses peradilan pidana.
Proses Peradilan Pidana yang merupakan proses bekerjanya organisasi-organisasi terutama Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, menggunakan konsep penyelenggaraan dan pengelolaan peradilan menurut sistem yang dikenal dengan system approach, yaitu penanganan secara sistemik terhadap administrasi peradilan. Pembagian tugas dan wewenang diantara masing-masing organisasi merupakan prinsip diferensial fungsional. Hal ini dimaksudkan untuk secara tegas menghindari adanya tumpang tindih dikarenakan telah adanya pembagian tugas dan wewenang yang jelas. Artinya, berdasarkan prinsip diferensial fungsional ini ditegaskan pembagian tugas dan wewenang antara aparat penegak hukum secara instansional, dimana KUHAP meletakan suatu asas “penjernihan” dan modifikasi fungsi dan wewenang antara setiap instansi penegak hukum.
Penjernihan diferensiasi fungsi dan wewenang terutama diarahkan antara Kepolisian dan Kejaksaan seperti yang diatur dalam Pasal 1 butir 1 dan 4 jo Pasal 1 butir 6 huruf a jo Pasal 13 KUHAP. Dalam ketentuan ini ditegaskan bahwa :
a. Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan (Pasal 1 butir 1 KUHAP)
b. Penyelidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan. (Pasal 1 butir 4 KUHAP) ;
c. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 1 butir 6 huruf a KUHAP)
d. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan hakim (Pasal 13 KUHAP).
Sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) huruf g UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, tugas Kepolisian adalah melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Secara rinci, tugas Polisi di bidang represif menurut Gerson W Bawengan adalah menghimpun bukti-bukti sehubungan dengan pengusutan perkara, melakukan penahanan untuk kemudian diserahkan kepada Kejaksaan selaku Penuntut Umum untuk diteruskan ke Pengadilan. Sedangkan menurut Pasal 30 ayat (1) huruf a UU No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan mempunyai wewenang dan tugas untuk melakukan penuntutan. Lebih lanjut dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa dalam melakukan penuntutan, Jaksa dapat melakukan prapenuntutan, yaitu serangkaian tindakan Jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan. Dengan demikian Jaksa selaku Penuntut Umum mempunyai wewenang untuk menerima dan memeriksa Berkas Perkara Penyidikan dari Penyidik atau Penyidik Pembantu, mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4) KUHAP, serta serangkaian tindakan yang lain, yaitu :
1. memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari Penyidik;
2. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh Penyidik.
3. membuat surat dakwaan;
4. melimpahkan perkara ke Pengadilan,
5. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan, yang disertai surat panggilan baik kepada terdakwa, maupun kepada saksi untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
6. melakukan penuntutan;
7. menutup perkara demi kepentingan hukum;
8. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai Penuntut Umum menurut ketentuan Undang-Undang ini,
9. melaksanakan penetapan Hakim.

Pada tahap pra penuntutan, memang posisi Jaksa sebagai Penuntut Umum amat bergantung pada peran yang dimainkan oleh Polisi dalam tahap penyelidikan dan penyidikan. Meskipun didalam KUHAP kewenangan Jaksa tidak lagi sebesar peranan yang dimain kannya ketika HIR masih berlaku, yang menyatakan kewenangan penyelidikan dan penyidikan pun menjadi kompetensinya.

Berdasarkan aturan-aturan KUHAP tersebut di atas, jelas dapat dilihat pembatasan yang tegas antara fungsi dan wewenang Kepolisian sebagai “Penyidik” dan Kejaksaan sebagai “Penuntut Umum” dan “Pelaksana Putusan Hakim”.
Penjernihan pembagian fungsi dan wewenang yang diatur dalam KUHAP membawa kemajuan dalam kehidupan penegakan hukum, khususnya dalam proses penyidikan. Karena seringkali sebagai dampak campur aduknya tugas penyidikan dalam beberapa instansi, membawa tragedi pengalaman dan ketidakpastian hukum. Seorang tersangka yang sudah berbulan bahkan bertahun diperiksa, dan diproses verbal oleh Kepolisian, dengan pemeriksaan yang lama dan kadang bertele-tele, tidak jarang membuat tersangka kewalahan dan tertekan batin. Akan tetapi belum sembuh beban fisik dan psikologis yang dialaminya, ia harus menghadapi lagi pihak Kejaksaan untuk menyidiknya dengan pertanyaan yang kurang lebih sama, seperti yang pernah ditanyakan oleh penyidik dari pihak Kepolisian. Hal demikian menimbulkan pertanyaan, apakah proses penyidikan itu merupakan sebuah proses untuk mencari dan menemukan kebenaran, atau semata-mata hanya untuk menyiksa dan mempermainkan. Seringkali pada saat tersangka diperiksa oleh Kepolisian, dalam waktu yang bersamaan pihak Kejaksaan melakukan penyidikan. Sehingga timbul kesan terjadi persaingan, akibatnya sering dijumpai BAP yang saling bertentangan antara yang satu dengan yang lain, yang membuat bingung tersangka dan sidang pengadilan.
Untuk itu, prinsip diferensial fungsional mempunyai tujuan utama, yaitu :
1. Untuk menghilangkan proses penyidikan yang tumpang tindih antara Kepolisian dan Kejaksaan ;
2. Menjamin kepastian hukum dalam proses penyidikan ;
3. Menyederhanakan dan mempercepat proses penyelesaian perkara;
4. Memudahkan pengawasan pihak atasan secara struktural.

Dalam pengelolaan sistem peradilan secara sistemik ini proses peradilan pidana diselenggarakan secara terpadu. Dimulai dari adanya kejahatan baik yang dilaporkan oleh masyarakat maupun yang diketahui oleh Polisi sendiri. Tindakan yang dilakukan oleh Polisi selaku aparat penyidik adalah melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan serta serangkaian tindakan penyidikan lainnya. Apabila proses tersebut sudah selesai, ada dua tindakan yang dapat dilakukan oleh Polisi. Pertama, Berita Acara Pemeriksaan (BAP) akan diserahkan kepada Kejaksaan apabila bukti-bukti sudah dianggap cukup. Kedua, mendeponir perkara dengan alasan karena perkara tersebut adalah perkara kecil dan tidak membahayakan masyarakat, atau dengan alasan tidak cukup bukti-bukti yang dibutuhkan.
Pihak Kejaksaan setelah menerima BAP dari Polisi, melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut; pertama apabila Penuntut Umum menganggap perkara itu patut untuk diajukan ke Pengadilan, maka akan dibuat Surat Dakwaan. Proses pelimpahan perkara dari Kejaksaan ke Pengadilan ini disebut Penuntutan, kedua Penuntut Umum dapat menghentikan penuntutan dangan alasan tidak terdapat cukup bukti atau ternyata bukan tindak pidana atau menutup perkara demi hukum.

Hubungan deferensial fungsional antara Jaksa dengan Polisi dapat dilihat bahwa Jaksa sebagai Penuntut Umum tugasnya adalah khusus melakukan penuntutan - kecuali terhadap delik-delik tertentu- Jaksa mempunyai wewenang untuk menyidik. Sedangkan Polisi khususnya bertugas sebagai penyidik.
Selain hubungan koordinasi seperti tersebut di atas, masih ada hubungan koordinasi fungsional antara aparat penegak hukum, khususnya Kepolisian sebagai penyidik, Kejaksaan sebagai Penuntut Umum dan pelaksana putusan Hakim, serta hubungan Penyidik dengan Pengadilan/Hakim dalam proses prapenuntutan.
Hubungan Penyidik dengan Penuntut Umum.
- Kewajiban Penyidik untuk memberitahu dimulainya penyidikan kepada Penuntut Umum. (Pasal 109 ayat (1) KUHAP).
- Pemberitahuan Penghentian penyidikan oleh Penyidik kepada Penuntut Umum (Pasal 109 ayat (2) KUHAP).
- Penyerahan BAP oleh Penyidik kepada Penuntut Umum, dalam hal ini Penuntut Umum dapat mengembalikan BAP tersebut kepada Penyidik, apabila Penuntut Umum berpendapat hasil penyidikan masih kurang lengkap dengan disertai petunjuk untuk dilengkapi oleh Penyidik dan untuk waktu tertentu sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Selanjutnya apabila telah dinyatakan lengkap, maka Penyidik segera mengalihkan tanggung jawab yuridis dengan menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum.
- Atas permohonan Penyidik, Penuntut Umum dapat memberikan satu kali perpanjangan penahanan untuk masa 40 hari (Pasal 24 ayat (2) KUHAP).
- Penuntut Umum memberikan turunan surat pelimpahan perkara dan surat dakwaan kepada Penyidik (Pasal 143 KUHAP).
- Dalam Acara Pemeriksaan Cepat, Penyidik atas kuasa Penuntut Umum melimpahkan berkas acara dengan menghadapkan terdakwa, saksi dan barang bukti ke sidang pengadilan. (Pasal 207 KUHAP)

Seperti telah diuraikan di muka, KUHAP telah mengatur tentang pembagian tugas dan wewenang masing-masing instansi aparat penegak hukum. Kepolisian berkedudukan sebagai instansi penyidik dan Kejaksaan mempunyai kedudukan pokok sebagai aparat Penuntut Umum dan pejabat pelaksana eksekusi putusan pengadilan.
Menurut Yahya Harahap, sekalipun telah digariskan pembagian wewenang secara instansional, KUHAP sendiri memuat ketentuan yang menjalin instansi-instansi penegak hukum dalam suatu hubungan kerjasama yang dititik beratkan tidak hanya untuk menjernihkan tugas wewenang dan efisiensi kerja, tetapi juga diarahkan untuk terbina suatu tim aparat penegak hukum yang dibebani tugas tanggung jawab saling mengawasi dalam “system checking” antara sesama instansi tersebut. Dengan adanya penggarisan pengawasan yang berbentuk checking, KUHAP telah menciptakan dua bentuk sistem pengawasan dan pengendalian pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia yaitu :
Pertama ; built in control. Pengawasan ini, dilaksanakan berdasarkan struktural oleh masing-masing subsistem menurut jenjang pengawasan (span of control) oleh atasan kepada bawahan.
Kedua ; untuk menjamin tercapainya penegakan hukum yang lebih bersih dan manusiawi, maka penegakan hukum harus mendapat pengawasan. Dengan mekanisme pengawasan yang baik dan teratur dalam satuan kerja, akan meningkatkan prestasi kerja. Dengan mekanisme pengawasan yang baik dan teratur, apabila ditemukan adanya penyimpangan, dapat sedini mungkin diketahui dan dikembalikan kearah tujuan dan sasaran yang hendak dicapai.
Sistem ini juga meminimalkan terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan penegakan hukum. Artinya masing-masing subsistem mempunyai kedudukan yang sama dan sejajar. Tidak berada dibawah atau di atas subsistem lainnya. Dengan demikian, yang ada adalah “koordinasi pelaksanaan fungsi penegakan hukum antar subsistem”. Masing-masing saling menjalankan ketentuan wewenang dan tanggung jawab, guna kelancaran dan kelanjutan penyelesaian proses penegakan hukum. Keterikatan masing-masing subsistem antara yang satu dengan yang lainnya tidak lain semata-mata dalam proses penegakan hukum. Keterlambatan dan kekeliruan salah satu subsistem, berdampak rusaknya jalinan pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasi penegakan hukum.

Tidak ada komentar: