Minggu, 16 November 2008

BENTUK PENDEKATAN DAN ASAS-ASAS YANG MELANDASI SISTEM PERADILAN PIDANA.

Geoffrey Hazard Jr, membedakan tiga bentuk pendekatan dalam sistem peradilan pidana yaitu :.
1. Pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata.
2. Pendekatan Administratif memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen, yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horizontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang digunakan adalah sistem administrasi.
3. Pendekatan Sosial, memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang dipergunakan adalah sistem sosial.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa tujuan utama peradilan pidana adalah memutuskan apakah seseorang bersalah atau tidak. Peradilan pidana dilakukan melalui prosedur yang diikat oleh aturan-aturan ketat tentang pembuktian yang mencakup semua batas-batas konstitusional dan berakhir pada proses pemeriksaan di persidangan.
Herbert Packer mengemukakan , bahwa sebuah model yang dapat dipergunakan untuk mengenali secara eksplisit pilihan nilai yang melandasi rincian suatu “criminal process”. Bentuk model yang cocok untuk mencapai ketiga hal tersebut adalah model atau model-model normatif.
Selanjutnya ditegaskan pula oleh Packer bahwa akan ada lebih dari satu model normatif, tetapi tidak akan lebih dari dua model saja. Kedua model tersebut merupakan antinomi yang normatif dari lubuk yang terdalam hukum pidana. Kedua model ini disebut, the due process model dan the crime control model.
Due Process dan Crime Control merupakan model normatif peradilan, memiliki tujuan tertentu dan berbeda secara fundamental, baik dari persoalan nilai atau kepentingan yang hendak dicapai.
Crime Control model lebih menekankan cara kerja efisien, cepat dengan maksud untuk memperoleh pengakuan. Sementara Due Process mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana. Kedua model tersebut dilandasi beberapa nilai berikut :
Nilai-nilai yang melandasi the crime control model adalah :
a. Tindakan represif terhadap suatu tindakan kriminal merupakan fungsi terpenting dari suatu proses peradilan.
b. Perhatian utama ditujukan kepada efisiensi suatu penegakan hukum untuk menyeleksi tersangka, menetapkan kesalahannya dan menjamin atau melindungi hak tersangka dalam proses peradilannya.
c. Proses criminal penegakan hukum harus dilaksanakan berlandaskan cepat (speedy) dan tuntas (finality). Model yang dapat mendukung proses penegakan hukum tersebut adalah model adminstratif dan menyerupai model manajerial.
d. Asas praduga bersalah atau presumption of guilty akan menyebabkan sistem ini dilaksanakan secara efisien.
e. Proses penegakan hukum harus menitikberatkan pada kualitas temuan-temuan fakta administrative karena temuan tersebut akan membawa kearah : (1). Pembebasan seorang tersangka dari penuntutan; atau (2) kesediaan tersangka menyatakan dirinya bersalah atau plead of guilty.

Nilai yang melandasi the due process model adalah :
a. Kemungkinan adanya faktor kelalaian yang sifatnya manusia atau human error menyebabkan model ini menolak informal fact finding process sebagai cara untuk menetapkan secara definitif factual guilt seseorang. Model ini hanya mengutamakan formal-adjudicative dan adversary fact finding. Hal ini berarti dalam setiap kasus tersangka harus diajukan ke muka pengadilan yang tidak memihak, dan diperiksa sesudah tersangka memperoleh hak yang penuh untuk mengajukan pembelaannya,
b. Model ini menekankan kepada pencegahan (preventif measures) dan menghapuskan sejauh mungkin kesalahan mekanisme administrasi peradilan.
c. Model ini bertitik tolak dari nilai bersifat anti terhadap kekuasaan, sehingga model ini memegang teguh doktrin legal guilt.
d. Gagasan persamaan di muka hukum atau “equality before the law” lebih diutamakan.
e. Due process model lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana (criminal sanction)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa asas yang melandasi sistem peradilan pidana, antara lain adalah :
1. Asas Legalitas (legality principle) ; suatu asas yang menyatakan bahwa suatu perbuatan (pidana) hanya dapat dihukum bila sebelum perbuatan tersebut dilakukan, telah ada undang-undang/peraturan hukum tertulis lainnya yang melarang dilakukannya perbuatan tersebut dan mengancamnya pula dengan pidana atau hukuman terhadap pelakunya. asas ini dikenal juga dengan asas Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali.
2. Asas Praduga Tak Bersalah (presumption of innocent) ; artinya setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
3. Asas Persamaan di muka Hukum (equality before the law) ; asas ini memberikan jaminan bahwa setiap orang diperlakukan sama dimuka hukum tanpa membedakan warna kulit, ras, agama, kedudukan sosial dan kelamin.
Selanjutnya akan penulis kemukakan pula, bahwa dalam pelaksanaan proses peradilan di Indonesia, dikenal pula adanya asas peradilan sederhana, cepat, dan murah, dengan uraian sebagai berikut :
1. Sederhana dapat dimaknai sebagai suatu proses yang tidak bertele-tele, tidak berbelit-belit tidak berliku-liku, tidak rumit, jelas, lugas, tidak interpretable, mudah dipahami, mudah dilaksanakan, mudah diterapkan, sistematis, konkrit baik dalam sudut pencari keadilan, maupun dari sudut pandang penegak hukum yang mempunyai tingkat kualifikasi yang sangat beragam, baik dalam bidang potensi pendidikan yang dimiliki, kondisi sosial ekonomi, budaya dan lain-lain.
2. Cepat, harus dimaknai sebagai upaya strategis untuk menjadikan sistem peradilan sebagai institusi yang dapat menjamin terwujudnya/tercapainya keadilan dalam penegakan hukum secara cepat, baik dalam hasil maupun dalam evaluasi terhadap kinerja dan tingkat produktifitas institusi peradilan (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan, Advokat). Kecepatan proses, hasil dan evaluasi tersebut menggunakan ukuran parameter dari prinsip tepat dan cermat. Artinya, tepat dalam penerapan ketentuan perundang-undangan yang dipergunakan sebagai dasar yuridis (tidak bertentangan dengan asas-asas hukum umum yang berlaku secara universal, seperti lex specialist derogate lex generalist, dan lain-lain), tepat dalam memilih dan memilah pasal-pasal yang dipergunakan, tepat dalam menentukan kerangka sosiologis (menjamin rasa keadilan masyarakat, mengembalikan dan menjaga keseimbangan sosial, mempunyai manfaat). Demikian juga tindakan penegak hukum harus cermat, dalam arti mengandung unsur kehati-hatian, ketelitian, kesungguhan, dalam proses , hasil maupun evaluasinya.
3. Murah mengandung makna bahwa mencari keadilan melalui lembaga peradilan adalah tidak sekedar orang mempunyai harapan akan jaminan keadilan di dalamnya, tetapi harus ada jaminan bahwa keadilan tidak mahal, keadilan tidak dapat dimaterialisasikan, keadilan mempunyai sifat mandiri dan bebas dari nilai-nilai lain yang dapat mengaburkan nilai keadilan itu sendiri, keadilan tidak dapat diperjualbelikan, keadilan bukan merupakan komoditas, keadilan bukan merupakan kata dengan sejuta pesimisme utopis, keadilan tidak dapat dikuantifikasikan dalam bentuk dan jenis apapun, keadilan adalah kebutuhan dasar bagi manusia yang hidup di dunia secara universal.

Tidak ada komentar: